“Chaterine ada?”
“Kharin pak !!”
Percakapan itu sering terjadi semasa aku sekolah. Beberapa guru
mengingat namaku Chaterine. Maklum
saja, aku sekolah di salah satu SMA yayasan Katolik di Lampung dan nama Chaterine mungkin
lebih terbiasa diucapkan. Tiga tahun lamanya aku tidak pernah mendapat siraman
rohani. Aku hanya menjalankan shalat dan puasa sebagai penggugur kewajiban.
Shalatpun masih sering ada yang bolong.
Selepas SMA, aku kembali ke Jakarta dan kembali ke kaum mayoritas. Masalah bukan lagi hanya pada nama Chaterine.
Tidak hanya sekali aku mendapati situasi seperti ini.
“Oh Kharin. Kamu muslim toh. Aku
kira non muslim. Soalnya namanya ada Yohana sih kayak nama baptis. Tampang kamu
juga kayak orang non muslim."
What? Aku bingung kenapa
bisa-bisanya orang menilai agama yang dianut dari wajah. Nama Yohana juga bukan
di awal nama jadi ya bukan nama baptis. Sempat juga salah satu dosen Matematika
Ekonomi blak-blakan mempermalukanku
di hadapan teman sekelas.
“Kamu non muslim ya?”
“Saya muslim pak”
“Oh saya kira kamu non muslin.
Abisnya ga pake kerudung sih”, seraya melihat teman-teman sekelasku yang mayoritas
berhijab.
Aku hanya nyengir kuda karena
tidak tahu harus merespond apa.
“Berhijab itu wajib loh.
Teman-teman yang lain kebanyakan udah berhijab. Dan bla bla bla…”,
melanjutkan petuahnya.
“Loh pak kenapa jadi bahas ini.
Itu si A si B juga ga berhijab. Kenapa cuma saya yang didakwa. Emang yang ga
berhijab udah pasti buruk, dan yang berhijab udah pasti baik? Kan semua yang menilai
bukan bapak tapi yang di Atas”, kataku dalam hati. Hehehe. Dan faktanya aku
cuma bisa nyengir kuda lagi. Ingin
rasanya aku lontarkan kata-kata itu.
Tidak berenti sampai disitu. Salah satu temanku juga sering
menasihatiku dengan berbagai cara. Dari ngajak nonton yang berbau religi (99
Cahaya di Langit Eropa), yang seakan peran dari tokohnya menyindir aku yang
belum berhijab. Sempat juga adu argument via bbm mengenai kewajiban berhijab.
Dan lagi-lagi aku berdalih. “Amal ibadah kita
yang menilai yang di Atas. Kalaupun amal ibadah gue ga diterima karena gue belum
berhijab ya biarlah itu jadi kuasa Allah. Perubahan itu bukan karena orang
lain,bukan karena lu tapi dari diri sendiri. Trus menurut lu yang berhijab udah
pasti lebih baik dari yang tidak berhijab? Lagi pula lu siapa? Bokap gue bukan
cowok gue juga bukan”, dan aku pun meneruskan argumenku saat itu. Semakin
aku dipaksa, semakin aku ogah melakukannya.
Sampai-sampai, karena aku yang emosi dan sudah dihinggapi syaiton dimana-mana,
malah mengganti Display Picture BBM dengan fotoku yang lumayan agak terbuka. (Astaghfirullah hal ‘adzim).
Keinginan untuk berhijab sebenarnya sudah ada. Tetapi aku terlalu
takut. Menurutku berhijab bukan main-main, bukan yang pakai terus dilepas lagi.
Berhijab sama seperti menikah. Sesuatu yang sakral. Saat kita memulai, maka harus dipertahankan
sampai akhir hayat. Tetapi semakin aku takut, semakin aku tidak pernah mencoba.
Sampai suatu saat aku
mengikuti training ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang diajukan dari kantor.
Disana, aku seperti disentil. Aku mendapatkan pengalaman yang super. Bagaimana
dalam menjalani hidup kita harus menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual. Dan di penghujung acara kita seolah dihadapkan pada
kematian. Aku langsung mengingat semua dosa-dosaku dan aku yang masih belum
berhijab. Saat moment itu, menara 165 seakan dibanjiri air mata penuh
penyesalan dari para peserta training.
Niatku untuk berhijab
semakin mantap. Tetapi itu tidak berlangsung lama, sebulan dua bulan aku
kembali pada sikap takutku untuk memulai. Aku belum terlalu yakin saat itu.
Setelah beberapa lamanya,
aku kembali terpanggil untuk segera melaksanakan kewajiban untuk berhijab.
Kemudian aku browsing tentang hukum berhijab dan ganjaran bagi mereka yang
tidak mau berhijab. Dan sampailah aku pada sebuah artikel yang seakan
menamparku. Disana terjawab semua keraguanku. Semua argumenku untuk belum siap
berhijab dijawab dan dikupas tuntas. Aku langsung merenung. Sampai kapan aku
akan terus ragu?
Aku bertekad akan
secepatnya berhijab. Dan lagi. Itu tidak berlangsung lama. Lagi-lagi aku
dihadapkan rasa raguku. Bagaimana nanti kalau aku membuat kesalahan atau
berlaku kurang baik kemudian dikait-kaitkan dengan hijab. Bagaimana nanti kalau
aku susah mencari pekerjaan karena ada beberapa perusahaan yang mensyaratkan
untuk tidak berhijab. Bagaimana nanti kalau aku melepas hijabku lagi seperti
kasus beberapa teman-temanku. Aku tipe orang yang sangat memikirkan pendapat
dan sudut pandang orang lain. Dan pada akhirnya niat untuk berhijab hanyalah niat.
Sampai akhirnya tibalah bulan suci Ramadhan. Malam itu sekitar bulan
Juni 2015. Aku sedang naik lift. Sendirian. Menuju lantai atas. Saat itu,
semakin lama lantai lift naik ke atas, tetapi atap lift tetap pada posisinya.
Sehingga ruangan lift semakin memendek. Terus memendek. Sampai-sampai kepalaku
sudah menyentuh atap lift. Aku tidak bisa bernapas. Benar-benar sesak. Rasanya
saat itu, napas terakhirku. Aku tidak mau mati sekarang. Aku masih banyak dosa.
Aku belum siap. Aku takut. Semakin aku berontak, semakin aku sesak. Akhirnya
aku pun pasrah. Aku ikhlas. Aku tenangkan diri, dan aku memenjamkan mata.
Sepersekian detik setelah itu, aku terbangun. Alhamdulillahirabbil’alamin.
Ternyata itu cuma mimpi. Tapi benar-benar seperti kenyataan. Setiap detail
kejadiannya begitu jelas di ingatanku, sampai detik ini pun aku masih ingat.
Langsung aku beristighfar. Apakah ini Malam Pembawa Pertanda dari Allah? Bahwasannya aku harus bertaubat secepatnya.
Aku yang masih belum menutup aurat. Aku yang masih banyak dosa. Untung cuma
mimpi, kalau itu benar kejadian, dan aku harus menemui ajal. Aku takut. Ampuni
aku ya Allah.
Paginya, aku menceritakan hal itu kepada Dewi, teman kosanku. Dia pun
berkata mungkin itu pertanda dari Allah bahwa aku harus segera menutup aurat
dengan berhijab. Pagi itu juga Dewi memasangkanku kerudung saat mau berangkat
ke kantor. “Pokoknya lu pake ampe kantor.
Awas lu lepas di jalan. Ga usah malu kalo dikatain temen-temen kantor lu.
Paling sehari, dua hari, atau paling lama seminggu lah lu dikatain. Abis itu
juga mereka biasa lagi. Terus kalo lu mau make kerudung gue, pakein aja tuh kerudung-kerudung
gue di lemari. Lu kan ada duplikat kunci
kamar gue”. Beruntungnya aku dipertemukan ama Dewi. Dia yang semakin
memantapkan niatku untuk berhijab.
Semenjak saat itu, perlahan demi perlahan aku berusaha menjadi pribadi
yang lebih baik dan lebih baik lagi di mata Allah. Meskipun aku masihlah
manusia biasa yang terkadang masih berbuat kesalahan, setidaknya aku sudah
berusaha menjadi yang terbaik. Aku bersyukur sekali sudah diberi kesempatan
untuk mendapatkan perjalanan ini. Mengutip dari do’a teman-temanku, “Semoga istiqomah ya Kharin”. Aamiin ya
Allah.
0 Comments