Hampir dua tahun sudah, interval yang cukup lama untuk memendam angan
berdiri di atas ketinggian. Berbagai ajakan untuk ke gunung ini dan itu aku
tolak dengan mantap. Dan tibalah saat dimana aku mengakhiri masa renungku dan
memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Guntur, Garut, Jawa Barat.
Jumat malam di tanggal 14 September 2018, aku sampai di titik kumpul
Sekretariat Backpacker Jakarta, Cawang. Ini merupakan kali kedua aku trip
bersama komunitas yang biasa disebut BPJ. Setelah seluruh peserta hadir, jam
22.00 bis rombongan kami berangkat.
Hawa dingin di Basecamp Gunung Guntur menyambut kedatangan kami. Ku
lihat jam menunjukkan pukul 05.00. Fasilitas di area Basecamp cukup lengkap, ada
tempat untuk istirahat, ada mushola, warung makan, warung kelontong, dan banyak
toilet umum yang disediakan warga.
Jam 7.45, seluruh peserta dengan total 28 orang termasuk Kak Ramdhan
dan Kak Rangga sebagai CP membuat lingkaran. Perjalanan diawali dengan doa
bersama agar perjalanan lancar yang kemudian disusul dengan menyatukan tangan
sambil berteriak, "Backpacker Jakartaaaa, Istimewaaaa!!"
Langit pagi ini cukup cerah. Kami berjalan beriringan. Trek menuju pos
1 masih terbilang bersahabat dengan view Gunung Guntur yang gersang. Gunung
Guntur ini memiliki ketinggian 2.249 mdpl. Eiits, jangan dilihat dari
ketinggian yang masih di bawah gunung Jawa Barat lainnya. Nyatanya gunung
ini disebut-sebut sebagai miniatur Gunung Semeru yang berarti tidak bisa
disepelekan.
Tidak jauh dari Basecamp, kami melewati tempat yang katanya bekas penambangan pasir yang berada di kiri jalan. Alih-alih menikmati pemandangan di sekitar
Guntur, aku berjalan dengan tempo yang lambat dan baru sampai di Pos 1 jam
08.50. Di pos ini terdapat warung yang menjajakan minuman es dan berbagai
makanan seperti mie instan, lontong, gorengan, cemilan ringan hingga bakso
cuanki. Nah, aku baru tahu kenapa namanya Cuanki, padahal jajanan ini sudah
akrab dari jaman SD. Cuanki itu kependekan dari Cari Uang Jalan Kaki. Woalaaaah begityu toh.
Pos 1 ini merupakan pos terakhir yang menjual makanan. Masih di area
pos 1, kita akan menemukan pos untuk pendataan para pendaki yang biasanya
dilakukan oleh pegawai BKSDA. Perjalanan kembali dilanjutkan. Setelah 20 menit
kami sampai di Air Terjun Citiis. Airnya dingin sesuai namanya 'tiis' yang dalam
bahasa Sunda berarti dingin. Dari air terjun ini, trek mulai terlihat terjal.
Beberapa kali aku berhenti istirahat. Belum lagi cuaca yang sudah mulai panas.
Jam 11.20 akhirnya kami sampai tempat camp di Pos 3. Peserta laki-laki
mulai mendirikan tenda. Aku, Rika, dan Irma duduk sembarang sambil menutupi
badan dengan matras. Sumpah, di sini benar-benar panas dan kita tiba di saat
matahari sedang terik-teriknya.
Tenda selesai dibangun. Kita segera santai-santai. Kelelahan
dan kemudian tidur? Noooo. Di dalam tenda hawanya bisa tambah panas. Menyeduh
kopi setelah mendirikan tenda layaknya kalau mendaki di gunung lain? Noooo. Yakale panas-panas gini minum kopi panas. Kita pun berbincang-bincang ringan di depan
tenda yang dipasang flysheet.
Jam 13.30 kami makan bersama. Nikmat. Setelah itu kami mulai
bersih-bersih dan melaksanakan shalat. Di pos 3 ini cukup lengkap. Ada pos yang
menjual souvenir, ada beberapa toilet
yang dipisah antara laki-laki dan perempuan, ada tempat wudhu, dan yang paling
membuat nyaman adanya mushola lengkap dengan alat shalat. Sekembalinya di
tenda, aku dan teman-teman menikmati pemandangan kota Garut dari salah satu
spot yang lapang. Naluri wanita keluar. Kami berfoto.
Malam tiba. Kami berbincang sambil meminum coklat panas dicampur kopi
yang katanya kalau di café bisa 35 ribuan, hehehe. Hari semakin malam dan kami mulai
tidur agar besok bisa summit attack dengan semangat. Oh ya carrier dan sepatu
kami masukkan ke dalam tenda. Antisipasi karena di gunung ini terkenal rawan
pencurian barang.
Mundur 60 menit dari jadwal, jam 04.00 kami mulai menyusuri gelap menuju puncak. Headlamp sudah terpasang di kepala. Ku tengadahkan kepala
ke atas. Ratusan bintang sedang bersinar menghiasi langit yang indah. Waaaaaaaw.
Hawa dingin yang sebelumnya menyelinap masuk ke dalam tubuh, lambat
laun hilang setelah beberapa menit perjalanan. Trek menuju puncak benar-benar
membuat mengelus dada. Jalur menanjak, berdebu, dan berkerikil. Beberapa orang
pun bergumam, “Gunung Guntur, dekat di mata lemas di kaki”. Aku yang hampir tidak
pernah lagi olahraga, semakin memperparah ritme jalanku. Setelah menemukan
batang pohon pengganti trekking pole, perjalanan
serasa lebih mudah karena ada tumpuan untuk bergerak di kemiringan.
Cahaya orange perlahan-lahan mulai muncul. Aku berhenti dan menikmati
sunrise di tengah perjalanan. Memang tidak secantik pemandangan sunrise di gunung-gunung
sebelumnya yang pernah aku daki tapi dengan background trek yang aduhai membuatku tersenyum.
Perjalanan dilanjutkan dan akhirnya aku sampai di Puncak 1 jam 07.30.
Banyak peserta BPJ yang sudah sampai dan lagi-lagi aku berada di rombongan paling belakang.
Aku duduk memandangi suguhan pemandangan yang ditawarkan Gunung Guntur. Segala
lelah yang terasa dari Pos 3 lenyap sudah. Akhirnya aku menginjakkan kaki di
atas ketinggian. Mungkin bagi orang lain biasa saja. Bagiku ada sebuah kepuasan
tersendiri. Melewati jalan yang tidak mudah untuk mencapai satu titik. Dan di
titik ini aku terdiam.
Aku menatap sekeliling area puncak. Aku kemudian flashback. Awalnya
aku memutuskan libur mendaki karena menyambut ‘masa renung’ agar fokus
memperbaiki sedikit masa depanku yang kemudian membawaku keluar dari zona
nyaman. Itu alasan pertama. Dan alasan lain menyusul, saat dimana terakhir kali
aku meminta restu ke bapak untuk mendaki Gunung Sumbing.
“Ngapain kamu cewek-cewek naik gunung, bahaya”, kata bapak di akhir
Januari 2017.
“Ya ya ya pak? Ini terakhir kalinya deh pak”, kataku memohon. Dalam
hati aku berkata bahwa ini terakhir kali, di bulan ini. Bukan selamanya.
Namun beberapa bulan setelahnya, aku tidak akan pernah bisa ijin langsung
ke bapak. Selamanya. Aku pun larut dalam masa renungku. Dan belakangan setelah
melewati satu fase dimana aku benar-benar lelah. Aku mengikuti egoku. Pikirku
saat ini, bapak sudah ‘di atas’. Semakin aku berpijak di tanah tertinggi, bapak
bisa melihat perjalananku dengan jelas dan tanpa khawatir. Anak perempuannya
baik-baik saja. Semoga bapak bisa mengerti alasan aku kembali mendaki. Karena di
sana ada sebagian beban yang bisa ku tinggalkan dan kemudian tergantikan oleh
sebuah semangat baru.
6 Comments
Wogh.. Guntur..
ReplyDeleteUdah September cukup gersang juga sepertinya..
Hmm.. yang penting pulang selamat terus.. InsyaAllah nanti ortu juga yakin kalau perjalanan pendakian akan baik" saja..
Iya kak gersang, panas.
DeleteAamiin kak asal mendaki sesuai prosedur, insya Allah aman kan :)
Guntur Jangan Sampe Luntur !
ReplyDeleteIya kenangannya yang jangan luntur ya kak :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTempat yang sangat indah, thanks for sharing gan..
ReplyDelete