Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Yogya
(KLA
PROJECT)
Sepenggal lagu
Yogyakarta milik Kla Project rasanya cukup menggambarkan betapa Jogja selalu
menyisakan kerinduan bagi mereka yang pernah berkunjung ataupun menetap disana.
Sudah sejak lama aku ingin menghabiskan beberapa waktu ke kota yang selalu
menawarkan keramahtamahan penduduk lokalnya itu.
Sabtu, 31 Desember 2016
Setelah beberapa kali
dilanda galau antara jadi atau tidak
ke Jogja karena beberapa hal, akhirnya Sabtu tanggal 31 Desember 2016 sekitar
jam 06.00, tibalah aku di Terminal Jombor, Jogja. Aaaaaah.. Akhirnya
menghirup udara Jogja. Aku kesana dengan transportasi umum bis selama
kurang lebih 14 jam perjalanan. Setelah muter-muter naik TransJogja, aku
dijemput saudara yang akan menemaniku selama di Jogja. Mas Bonnex.
![]() |
Suasana Angkringan Kopi Joss di pagi hari |
Hal pertama yang
ingin kucoba adalah mencicipi nasi kucing di Angkringan Kopi Joss yang berada
di dekat Stasiun Tugu. Nasi kucing merupakan nasi putih biasa, hanya saja
dengan porsi mini layaknya makanan untuk kucing, dilengkapi dengan sambel teri
atau oseng-oseng tempe. Tak lupa juga gorengan untuk pelengkapnya. Tetapi
sayang sekali aku tidak mencicipi kopi joss karena masih pagi. Kopi Joss
sendiri adalah kopi dengan dimasak langsung dari tungku dan dimasukkan arang
panas layaknya es batu. Kalau di malam hari, angkringan ini akan ramai
pengunjung. Berhubung malam ini adalah malam tahun baru, akses jalan biasanya
mulai ditutup dari jam 17.00 sehingga aku pun pesimis bisa kesini lagi nanti
malam.
Tidak jauh dari Angkringan Kopi Joss, mungkin kalau berjalan hanya sekitar 5 menit, kita akan menemukan landmark kota ini, Tugu Jogja. Disini pula dijelaskan bahwa adanya ‘sumbu imajiner’ yang menghubungkan laut selatan, keraton Jogja, tugu Jogja dan Gunung Merapi.
Di seberang Tugu Jogja, terdapat Monumen Tugu dengan miniatur Keraton Yogyakarta dan Tugu Golong Gilig. Disini tedapat informasi sejarah pada relief dinding, dimana dijelaskan uraian singkat mengenai sejarah Tugu Golong Gilig, Sumbu Imajiner, dan Perjanjian Giyanti.
Nama Tugu Golong Gilig sendiri
menyesuaikan dengan bentuk tugu yg terdiri dari bentuk bola (golong) dan
silinder (gilig) dengan filosofi yaitu menggambarkan kebulatan tekad dan
semangat. Tetapi setelah terjadi gempa tahun 1867, tugu tersebut runtuh dan dibangun
kembali tahun 1889 dengan bentuk baru seperti yang kita lihat sekarang ini
sebagai Tugu Yogyakarta.
Pasar Beringharjo
Berlatarbelakang permintaan khusus dari ibu untuk membawakan mie lethek khas bantul, akupun mampir ke Pasar Beringharjo. Alhamdulillah tidak perlu jauh-jauh ke Bantul, disini juga ada toko yang menjajakan mie lethek yang ternyata mempunyai arti lethek (kotor) karena warnanya yang agak butek gitu. Hehehe.
Disini juga menjual
beragam batik, blangkon, sandal, tas, aneka rempah-rempah, barang antik, dan
juga jajanan pasar. Nama Beringharjo mempunyai arti wilayah yang semula hutan
beringin (bering) yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan (harjo).
Jalan
Malioboro
Di sepanjang Jalan
Malioboro banyak pedagang yang menjual kaos Jogja. Harganya berkisar Rp 15.000
– Rp 45.000. Banyak juga yang menjual pakaian batik, miniatur delman dan
beberapa candi, tas, sendal, dan lain-lain.
Museum Benteng
Vredeburg
Dengan tiket masuk Rp 2.000 kita sudah bisa menikmati museum yang dahulunya adalah pusat pemerintahan dan pertahanan Belanda. Museum ini menyuguhkan berbagai diorama yang menggambarkan perjuangan sebelum proklamasi kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru. Tidak hanya itu, disini juga terdapat koleksi beragam benda bersejarah, foto-foto , dan lukisan tentang perjuangan nasional dalam memperjuangkan Indonesia.
(1)
Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta yang dipimpin oleh Ny. Soekanto
(2)
Kongres Jong Java di Dalem Joyodipuran Yogyakarta
(3)
Penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
(4)
Pasukan Jepang Memasuki Kota Yogyakarta
(5)
Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
(6)
Kongres Pemuda di Alun-Alun Utara dan Balai Mataram (sekarang Senisono), Yogyakarta
(7)
Gerakan Seniman Dalam Revolusi untuk Membakar Semangat Juang Rakyat
(8)
Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI di Gedung Kepresidenan Yogyakarta
Puncak Becici
Setelah dari Museum Vredeburg, jam 14.30 aku diajak Mas Bonnex dan 2 temannya, Fajar (cewek) dan Mas Nanang pergi ke Puncak Becici. Yap, tempat yang lagi instagramable dengan spot favorit foto di atas pohon. Tentunya selain Kalibiru yang sekarang sudah amat ramai. Jadilah kami berempat ke Puncak Becici dengan bersepeda motor.
Setelah melewati hutan pinus, sampailah kita di Puncak Becici yang ditandai dengan tiang tinggi beratap bertuliskan 'Puncak Becici'. Di area ini pula kita menikmati pemandangan kota Jogja dari ketinggian.
“Ayoooo.. Aku mau foto disitu biar ala-ala anak instagram”, kataku saat melihat rumah pohon. Ada 2 rumah pohon bersebelahan. Jadi saat aku naik ke pohon yang 1, Fajar naik ke pohon yang di sebelahnya untuk mengambil gambarku. Untuk foto disini kita cuma dipungut Rp 2.000 per orang.
Tak jauh dari 2 rumah pohon yang bersebelahan, ada lagi spot rumah pohon yang lain. Tetapi untuk mengambil gambar tidak perlu sang fotografer naik pohon juga. Biayanya juga sama hanya Rp 2.000 per orang.
Senja yang muncul menambah cantik pemandangan di Puncak Becici ini. Tapi sayang sekali kita harus segera pulang agar tidak terlalu malam sampai di Jogja (maksudnya Jogja kota) karena malam ini tahun baru menyebabkan beberapa akses jalan ditutup.
Menghabiskan
Akhir Tahun
Malam Tahun Baru? Merapi? Big No. Malioboro? No. Bukit Bintang? No.
Festival Light Kaliurang? No. Rencana sebelumnya aku ingin menghabiskan akhir
tahun 2016 di Merapi. Tapi gagal. Kemudian rencana beralih ke Malioboro atau
tempat lainnya untuk menyaksikan festival kembang api Jogja. Dan gagal juga.
Lalu dimana aku menghabiskan akhir tahun 2016? Di rumah. Huhuhu. Tepatnya
di rumah mas Fajar, teman mas Bonnex. Disana ada acara bakar-bakar. Ya…
sampai-sampai sempat membakar hatiku yang diPHPin nonton kembang api yang aku
ingat sebagai Tragedi Kembang Api.
Meskipun sempet manyun, nyatanya aku cukup senang menghabiskan tahun baru
bersama orang baru. Yup bersama Mas Bonnex dan teman-temannya, plus keluarga
Mas Fajar. Mereka semua amat ramah. Belum lagi persahabatan Mas Bonnex dan
teman-temannya yang sangat solid sehingga sempat membuatku iri. Hihihihi
Minggu, 1 Januari 2017
Pantai
Ngobaran dan Pantai Nguyahan
Pagi hari di tahun yang baru. 2017…. !!! Pilihanku untuk mengawali tahun
baru dengan melipir ke Pantai Siung sepertinya kurang tepat. Jam 09.00, aku,
Mas Bonnex, Mas Nanang, Fajar, Mas Fajar, Mbak Indah, Ridho, dan Tika berangkat
menuju Gunung Kidul.
Akupun langsung lemas tak berdaya (lebay). Kami pun memutar balik sepeda
motor, entah mau pulang ke rumah atau kemana, aku sudah pasrah (pasrah di luar,
kesal di dalam).
Setelah Dzuhur, kami beristirahat di warung kopi pinggir jalan. Di
sepanjang jalan, banyak yang menjajakan Walang Goreng (Belalang Goreng). Mereka
dengan asyik memakan cemilan aneh menurutku. Kata mereka sih rasanya ga jauh
beda kayak udang goreng.
Di sela-sela obrolan kami, Mas Fajar sempat nyeletuk Pantai Ngobaran. Aku langsung semangat sambil membayangkan
pantai dengan ciri khas pura-pura seperti di Bali itu. Rencana itupun sempat
gagal karena sebagian dari kami meyakini akan dipertemukan dengan dia, iya dia…
‘kemacetan’. Hehehe.
Alhasil, kami sampai di Pantai Ngobaran jam 15.00. Ridho dan pacarnya,
Tika tidak ikut karena ada urusan lain. Perjalanan menuju kesini cukup lancar,
hanya macet di sekitar jalan menuju area pantai.
Pantai Ngobaran yang berada di daerah Gunung Kidul
ini cukup menarik dengan pesona budayanya. Disini terdapat bangunan berupa
Masjid, Joglo, serta Pura dengan beberapa patung yang membuat kita seakan
berada di pantai Bali.![]() |
Mengabadikan moment bersama di Pantai Ngobaran :) |
Meskipun kali ini, pengunjung cukup padat, tetapi aku masih bisa
menikmati deburan ombak. Menyejukkan. Menenangkan. Aku menyadari, pantai dan
gunung tidaklah bisa dibandingkan karena memiliki keistimewaannya
masing-masing.
Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk mengunjungi Pantai Nguyahan yang
terletak sekitar 300 m di sebelah Pantai Ngobaran. Terlihat kumpulan keluarga
yang sedang bermain air. Ada yang bermain voli pantai.
Ada pula yang hanya bercengkerama di bawah payung pantai. Beberapa di antaranya
sembari menikmati kelapa muda.
Jam 17.00 kami diharuskan bergegas kembali. Perjalanan yang pastinya akan ditemani dengan kemacetan karena masih dalam masa libur tahun baru.
Bukit Bintang
Sekitar jam 20.00 kami mampir di Bukit Bintang. Disini ada deretan warung lesehan yang menjajakan makanan dan minuman seperti ayam bakar, nasi goreng, soto ayam, kelapa muda, dll. Menurutku tidak ada yang terlalu special dari menu makanan. Rasanya pun amat standar. Wajar saja, disini bukan ditujukan untuk menjual cita rasa tetapi lebih menjual suasana malam kota Jogja yang dinikmati dari ketinggian. Yaa.. dari Bukit Bintang ini terlihat kerlap kerlip kota Jogja.
Disini pulalah kami berbagi canda tawa dari obrolan ringan mengenai
kesibukan sehari-hari, bully-membully cerita pribadi masing-masing sampai
membahas poligami. Hehehe.
Aaaah.. Sepertinya enggan sekali kaki ini beranjak. Tetapi jam sudah
menunjukkan pukul 23.00 dan kami pun harus pulang. Obrolanpun nantinya akan
dilanjutkan di rumah Mas Fajar. Hehehe.. Selama perjalanan pulang akupun sering
melontarkan, “I'm very happy today”.
Senin, 2 Januari 2016
Pagi sekitar jam 09.00 aku dan Mas Bonnex sudah bersiap
pergi. Sebenarnya jadwalku kembali ke Jakarta masih besok siang. Tetapi aku
ingin mengunjungi saudarku, Frater Yogi di Kaliurang, kemudian dilanjutkan
menginap di rumah Mbahku di daerah Baturetno – Jawa Tengah, yang sekaligus
menjadi kampung halaman Mas Bonnex juga.
Aaah rasanya berat berpisah dengan Fajar (cewe),
Mbak Indah, Mas Nanang, dan Mas Fajar. Dua hari bersama mereka membuat
liburanku semakin ceria. Aku pun berharap bisa berkumpul lagi dengan mereka,
entah di jogja, entah di Jakarta, atau di belahan dunia manapun. Hehehe
Akhir kata.. Selamat tinggal kalian. Selamat tinggal
Jogja. Tentunya, akan selalu ada "Rindu Baru untuk Jogja".
0 Comments