Semoga Bahagia di Sana, Pak !



Masih jelas terbayang saat Idul Fitri kemarin, aku ngotot ingin foto keluarga. Ya.. kami berenam, aku, ibu, bapak, dan ketiga adikku. Saat itu tak terpikir bahwa itulah foto keluarga kami yang pertama dan yang terakhir.

Bapak yang bukan seorang perokok, dinyatakan menderita penyakit paru-paru. Maret lalu bapak menjalani penyedotan cairan di paru-paru dan pasca keluar dari RS, kami menjadikannya sebagai harapan baru bahwa bapak akan kembali sehat seperti sedia kala.

Sudah 4 bulan bapak menjalani rawat jalan dan diharuskan minum obat paru-paru selama 6 bulan. Setiap hari bapak rajin minum setumpuk obat bahkan saat puasa ramadhan sekalipun. Tekad bapak amat kuat untuk segera sembuh dan melanjutkan hari dengan gagah. Kami selalu menanamkan keyakinan bahwa bapak akan mengalahkan penyakitnya. Tapi aku salah. Kami salah. Ternyata keyakinan tersebut tidak bisa melawan takdir yang sudah Allah gariskan.

Pagi itu, Kamis tanggal 27 Juli 2017, aku mendapat kabar dari ibu bahwa bapak sakit. Aku tidak mempunyai firasat apa-apa. Padahal kemarin bapak masih sehat meneleponku menginginkan oleh-oleh martabak saat aku pulang nanti. Belum sempat aku belikan, sekitar jam 08.00 bapak ternyata sudah dipanggil Allah ketika aku masih di perjalanan menuju Citayam. Saat itu, aku masih berusaha meyakinkan diri bapak masih hidup.

Sampai di rumah, bapak terbujur kaku dengan mata terpejam diiringi tangisan ibu dan adik-adikku. Aku histeris, teriak. Ku buka mata bapak, aku mencium bapak, sambil terus berkata, “Bapak bangun pak. Ini rina. Bapak jangan pergi. Bapak bangun pak.” Sampai ustadzah merangkulku dan menuntunku untuk terus beristighfar.

Bapak kenapa enggak nungguin rina sama adek-adek jadi orang sukses? Kenapa ga nungguin rina dan adek-adek nikah terus bapak bisa main sama cucu? Kenapa bapak ga nungguin rina bisa nepatin janji-janji rina buat ngebahagiain bapak? Paling enggak, kenapa bapak ga nungguin rina sebentar aja biar bisa nemenin bapak di detik-detik terakhir? Apa bapak marah sama rina?
Pertanyaan demi pertanyaan terus memutar di kepalaku, sambil terus kupandangi jasad bapak. Matanya tak juga terbuka, napasnya tak kunjung ada. Aku berharap bapak hanya mati suri. Aku berharap bapak bangun dari tidurnya. Tapi aku salah. 
Kehidupan di dunia ini yang justru hanyalah mimpi. Bapak bangun dari tidurnya untuk melanjutkan kehidupan di alam sana.

Kami segera mempersiapkan pemakaman bapak. Kami tak kuasa menahan perih saat memandikan jenazah bapak. Kupandangi wajahnya, tak juga membuka mata. Kusabuni kaki dan tangannya, kusirami, kusikati kuku kakinya. Inilah penyesalanku. Ketika dulu seharusnya aku bisa membasuh bapak dengan penuh cinta, lihatlah saat ini yang tersisa tinggal belaian seorang anak penuh penyesalan. Aku terlalu fokus pada impian besar yang ingin kuhadiahkan ke bapak dan ibu, sampai-sampai melupakan hal kecil tanda ungkapan cinta. Maafin rina pak, belum bisa buat bapak bahagia.

Jam 15.00 bapak disemayamkan. Di tempat peristirahatan terakhir. Aku menyadari jasad bapak berada di bawah tanah itu, tapi aku yakin bapak ada di atas sana sedang melihat kami, mencoba memeluk kami.
Dan bagaimana kelanjutan setelah ini?


Tiga Hari – Masa Penuh Duka
Tiga hari yg sangat berat. Penuh tangis. Penuh sesak. Penuh duka. Aku amat terpukul. Dihadapkan pada kematian bapak adalah ujian terbesar yang aku alami.

Setiap aku masuk ke kamar bapak, wangi khas bapak masih tercium. Melihat barang-barang bapak membuat kami sedih. Segeralah dikemas baju-baju bapak. Terlihat kumpulan buku dzikir, tuntunan shalat sunnah, dan bacaan lainnya. Selama ini, selama sekitar 10 tahun ini, meskipun ujian berkali-kali datang, bapak selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Mengingat bapak, membuatku ingin berontak atas sesuatu yang kuanggap tidak adil ini. Ingin ku banting barang yang ada di depan mataku. Ingin kubenturkan kepala ke tembok. Ingin terus kupukul dada ini. Sampai aku teringat kajian Ust. Khalid Basalamah yang membahas bahwa menyakiti diri sendiri seperti menampar pipi ketika orang terkasih meninggal adalah suatu dosa. Dan waktu untuk berduka hanya 3 hari. Ku tarik napas dalam-dalam. Kuseka air mataku. Aku harus kuat, karena masih ada yang perlu aku bahagiakan, ibu dan adik-adikku.


Tujuh Hari – Masa Penuh Sesal
Selepas tiga hari, aku sudah mulai bekerja kembali. Sebagai anak pertama aku mencoba untuk bangkit dan tegar. Kalau berhari-hari aku di rumah dengan meratapi kepergian bapak, pasti bapak disana juga akan sedih. Aku juga butuh keramaian agar tidak terus larut dalam kesedihan. 

Cerita demi cerita mulai dibagikan. Kami baru teringat idul fitri kemarin bapak meminta dibelikan baju koko putih dan sarung putih. Bapak yang menanyakan saudaraku tentang ketersediaan tanah kuburan, bapak yang menitipkan aku ke pakde bude kalau nanti menikah. Bapak yang menyuruh ibu kelak jangan sering melamun. Bapak yang menasihati keponakanku untuk rajin membersihkan makam alm pakde. Beberapa hari sebelum meninggal, bapak juga membantu mengurus perbaikan pompa air di rumah pakde. Dan ternyata bapak dimandikan disana dan disemayamkan di dekat makam mbah, sesuai keinginan bapak.

Sekitar 2 minggu sebelumnya aku bermimpi bapak meninggal. Ibu berkata itu artinya bapak panjang umur. Beberapa hari sebelumnya ibu juga bermimpi bapak tidur dan ngobrol bersama almarhum pakde. Sempat juga bermimpi bapak dan ibu naik motor untuk kontrol ke RS, lalu tiba-tiba ada banjir besar dan ibu mencari-cari jalan lain tapi tidak juga ketemu, entah bapak kemana. Dan semua mimpi itu menjadi nyata. Bapak benar-benar pergi.

Andai aku masih punya banyak waktu bersama bapak, akan kuluangkan ribuan jam untuk membuat bapak tersenyum. Satu pesanku. 

Bahagiakanlah orang terkasih walau dengan hal-hal terkecil sekalipun. Karena kita tidak tahu, kapan orang terkasih itu pergi. 


Empat Puluh Hari - Masa untuk Bangkit
Banyak sahabat melihatku sebagai orang yang tegar. Itu yang mereka lihat. Saat aku pulang dari keramaian, sosok bapak masih selalu teringat. Ribuan kali aku mencoba ikhlas, ribuan kali pula aku mempertanyakan musibah ini. Kenapa Allah memberikan cobaan yang begitu berat kepada keluarga kami? Saat kami mampu melewati satu ujian, kenapa ujian demi ujian yang lebih berat datang? Masih kurang cukupkah ujian yang harus kami lewati selama ini? 

Pertanyaan bernada ketidakikhlasan muncul begitu saja. Terkadang aku benar-benar lelah, putus asa, dan ingin tenggelam dalam keterpurukan.
Astaghfirullahal’adzim. Astaghfirullahal’adzim. Astaghfirullahal’adzim. 

Allah tidak mungkin memberikan ujian tanpa penyelesaian. Toh selama ini kami selalu berhasil melewatinya. Dan sekarang aku juga yakin, ini mungkin skenario terbaik dari Allah untuk bapak, aku, ibu, dan adik-adik. 
Terbayang bapak sedang mengelus kepalaku dengan hangat. Bapak pasti mengharapkan aku untuk kuat. 

"Rin, kamu ga usah repot-repot !", kata bapak dalam mimpiku hari itu. Bapak terlihat tegap dan bugar. Mungkin maksud bapak kami tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bapak.

"Bapak baik-baik aja disini !", jawab bapak saat aku menanyakan bagaimana keadaan bapak 'disana'. Itu mimpi kedua setelah bapak meninggal.

"Kata siapa disini enggak enak. Bapak disini seneng kok", kata bapak saat aku khawatir dengan keadaan bapak disana. Aku kasian bapak sendirian disana. Tapi di mimpi ketiga itu bapak menunjukkan kalau bapak senang disana. Semoga saja bapak meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Semoga saja, bapak tenang dan benar-benar senang disana. Aku merasa bapak bisa melihat kami, bisa mengawasi kami, juga bisa tersenyum dan bersedih karena kami, hanya saja kami berbeda dunia. Aku akan berusaha menjadi anak yang bisa membanggakan bapak, membahagiakan bapak walaupun bapak sudah berada disana.

Ketika bapak masih ada, aku ingin membahagiakan bapak dengan mewujudkan impian besarku, impian besar bapak agar bapak bangga. Setelah bapak tiada, mungkin doa yang tiada henti adalah hal yang bapak perlukan saat ini. Doa agar bapak diampuni segala dosa-dosa, dijauhkan dari siksa kubur dan siksa api neraka, diberikan tempat terbaik disana, dan selalu bahagia disana.


Selamat jalan pak. Maafin semua kesalahan rina. Maafin semua perbuatan dan ucapan yang sering membuat bapak sedih. Rina sayang bapak. Bapak udah jadi bapak terbaik buat kita. Bapak ga usah khawatir, ibu sama adek-adek, rina yang jagain. Makasih atas kasih sayang bapak selama ini. Makasih juga bapak menghadiahkan Razka, adik kecil kita yang menghapus lara dan duka. Baik-baik disana ya pak. BAHAGIA DISANA, PAK !

5 Comments

  1. Semoga bapak diberi tempat terindahNya ya.. Perjuangan seorang bapak memang luar biasa :)
    Terus berjuang untuk membahagiakannya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya robbal 'aalamiin. Iya kak perjuangan seorang super hero bagi anak-anaknya. Terima kasih kak.

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete