Sebuah Kisah Menuju SAH



Pertemuan di Masa Kecil

Potongan kenangan masa kecil terlintas. Usiaku saat itu sekitar 11 tahun. Bersama keluarga, aku menghabiskan liburan sekolah di Wonogiri, kampung halaman ibu.

Pawon (dapur tradisional masyarakat Jawa dengan tungku sebagai media untuk memasak) adalah salah satu sudut rumah mbah yang paling ku suka. Saat asik bermain, pintu belakang rumah mbah terbuka. Seorang anak laki-laki sebayaku datang dan mengobrol singkat dengan mbah kemudian kembali ke rumahnya yang berada di belakang rumah mbah.

“Itu anak setiap hari juga main ke sini. Giliran ada kamu, malu-malu langsung pulang.” Begitu kira-kira mbah menceritakan anak laki-laki tadi sembari tersenyum meledek.

Pertemuan masa kecil kami bukan diwarnai dengan berbagi tawa, bermain di kali ataupun di sawah. Aku dan dia hanya tahu nama, tahu cerita. Dan itulah sepenggal ingatan tentang perkenalan masa kecilku dengannya. Tak ada yang menyangka, kelak akan ada lembaran-lembaran cerita yang kita warnai bersama.


Layanan Pengaduan

Agustus 2014 pesan masuk ke akun facebook yang disambut jawaban ku dalam hati, “Ooh!”. Tak ada yang spesial. Dialah anak kecil pemalu yang sekarang sudah berani menyapa lebih dulu. Percakapan basa-basi kami hanya sebentar kemudian hambar.

Juli 2015 aku mudik ke Wonogiri bersama omku. Ya.. setelah belasan tahun tak mudik. Terlihatlah anak kecil yang sudah berevolusi menjadi laki-laki berkumis dan berjenggot tipis. Untuk pertama kalinya kami berbincang panjang. Di tengah obrolan berbagi cerita perjalanan hidup, ia menyelipkan nasihat agama, hasil dari kajian yang sering ia ikuti. Obrolan yang amat berfaedah.

Selepas mudik, aku mulai fokus dengan skripsiku, ia sibuk dengan kuliahnya di Jogja.

Juli 2016 aku kembali mudik tetapi bersama teman kampus yang kebetulan satu kampung. Oh ya saat itu adalah saat dimana aku sedang dalam masa pemulihan pasca perasaan yang ditelantarkan begitu saja oleh pelaku PHP. Naas. Ia pun menjadi sasaran empuk untuk menjadi pendengar keluh kesahku perihal jodoh. Obrolan berjam-jam tak hanya melulu tentang asmara tetapi juga tentang mimpi di masa depan. Kemudian ditutup dengan topik Quantum Ikhlas, buku yang ikut andil dalam proses hijrahnya.

Mulai saat itu intensitas komunikasi kami sedikit meningkat. Tak hanya mengobrol via WA tetapi juga via telepon aku memuntahkan segala curhatan tentang aku yang sulit move on, tentang pekerjaan hingga keluarga. Aku menyadari bahwa aku menemukan sahabat sekaligus kakak laki-laki siaga sebagai tempat ‘Layanan Pengaduan’ terhangat.


Menjadi Tujuan

Sudah belasan tahun kami tidak dipertemukan tapi cerita tentangku sempat masuk ke telinganya, aku yang berdiri tegak, melawan putus asa, berjuang meraih gelar sarjana. Hal itulah yang membuat ia bangkit. Segera semangatnya berkobar, rasa malas berangsur memudar.

Awal 2017 ia berhasil menyelesaikan studinya. Perjuangan tak selesai sampai di situ. Dalam diam ia berharap menjadi tempatku berlabuh. Sayang, ijazah yang telah susah payah didapatkannya belum mengantarkan menuju dunia kerja.

Dalam hatinya berkata, “Tunggu aku, suatu saat aku akan datang melamarmu. Ya.. setelah aku memantaskan diri, meyakinkanmu dan keluarga bahwa aku bisa membahagiakanmu.” Di balik kata-katanya yang selalu menenangkan ternyata ada setangkup doa.

Tekad besar membuahkan hasil. Ia lulus serangkaian ujian yang akhirnya membawanya menjadi abdi negara. Ia membuktikan bahwa ia adalah sosok pejuang yang fokus pada tujuan. Dan beruntungnya... akulah tujuannya.


Teman Hidup

Di sebuah pagi yang cerah, senyum terukir di wajahku, wajahnya dan kedua keluarga kami. Tanggal 24 Desember 2018 menjadi hari dimana ia secara formal menyatakan keseriusan untuk menjadikanku sebagai ‘teman hidup’.

Tak perlu pengenalan, tak butuh pendekatan, nyatanya kedua keluarga kami memang sudah akrab bahkan jauh sebelum kami lahir.
Lucu memang, orang menyangka kami dijodohkan padahal kami tumbuh dengan dunianya masing-masing yang kemudian takdir saling mempertemukan.

“Jodoh datang di saat yang tepat, tidak terlalu cepat ataupun terlambat.”

Ya.. takdir memang selalu indah pada waktunya. Aku dipaksa lebih dulu merasakan patah hati agar aku mengerti definisi cinta sejati. Aku dipaksa lebih dulu bertemu dengan orang yang salah agar aku sadar takdir Tuhan tak pernah salah.


Sebuah Jarak

Memutuskan untuk menikah bukan perkara mudah. Mendekati acara lamaran, aku sempat dihadapkan ragu. Inilah pilihan untuk seumur hidup.

Aku ingat kembali kata-katanya.

“Menikah itu ibadah. Jadi wajar kalau muncul ragu karena syaiton selalu menggoda untuk menunda ibadah, bukankah sama halnya seperti shalat?
Kalau menunggu siap, apa kamu yakin beberapa tahun ke depan sudah siap? Menikah bukan untuk ditakuti tetapi dijalani. Memang menikah tak selalu berjalan mulus, mungkin masalah dan bahagianya hampir sama. Maka dari itu menikah adalah tentang saling. Saling meredam ego, saling memberi masukan bukan menyalahkan, saling mendukung dalam suka duka, dan saling bahu membahu menggapai ridhoNya.”

Dalam setiap doa aku memohon petunjuk Allah hingga akhirnya takdir Allah tetap menuntunku ke arahnya. Aku mantap, insya Allah aku siap.

Ujian pertama kami adalah tentang jarak dan memang sebelumnya menjadi alasan utama munculnya ragu. Aku dan dia sama-sama menjadi abdi negara di ruang berbeda. Aku di Tangerang dan dia di Palembang. Ternyata pekerjaan yang diinginkan oleh orang banyak ini, ada harga tinggi yang harus kami bayar. Bukankah hidup memang seperti itu, perihal memilih.

Sebagian orang menganggap jarak kami adalah penderitaan. Aku merasa inilah anugerah Tuhan karena kami adalah pasangan pilihan. Allah menitipkan kepercayaan kepada kami untuk menjalani rumah tangga di ruang berbeda dan Allah yakin kami mampu bersama-sama menjaga kemuliaan pernikahan. Toh, kalau memang sudah saatnya, bukankah perihal mutasi kerja dari Palembang ke Bogor adalah hal yang mudah bagi Allah?


Alasan Dibalik Pilihan

Baik, ku perkenalkan. Namanya Bonnex Nicusay, nama asli sesuai KTP. Ayahnya tak asal menyematkan nama. Bonnex Nicusay adalah kepanjangan Bondo Nekat Niku Sae yang kurang lebih diartikan ‘belum bergelimang harta yang penting nekat, itu baik’, maksudnya dalam hal menyegerakan pernikahan. Unik, bukan? Ya, seunik garis takdir kita.

Dan inilah alasan dibalik pilihanku.

Awalnya ia datang dengan peran sebagai pendengar yang baik. Dibalik itu ialah sosok yang menyadarkan. Beberapa kali ia membunuh prinsip ku yang sebenarnya tak patut dipertahankan. Hingga suatu saat aku bisa menekan ego untuk meminta maaf pada figur yang seharusnya aku hormati. Tak hanya sekali, ia juga menasihati untuk melenyapkan foto-foto masa laluku sebelum berhijab dari semua akun sosmed. Kemudian ia membuka mataku bahaya riba dan banyak hal lainnya. Ia juga masih dalam tahap belajar memperbaiki diri tapi ia selalu berusaha menjadi pengingat orang lain menuju baik.

Ia adalah orang yang memuliakan ayah ibunya dengan caranya yang santun. Ia dewasa dengan sosok penurut karena itulah wujud bakti kepada orang tuanya. Dan bagiku anak laki-laki yang begitu memuliakan orang tua akan membangun keluarga dengan penuh kehangatan.

Terakhir, ia adalah orang yang mempunyai visi misi. Ia membuktikan bahwa dengan tekad bulatnya ia mampu mengubah ketidakmungkinan menjadi mungkin. Aku.. membutuhkan sosok seperti dia. Aku ingin melesat bersama orang hebat. Aku ingin kelak bersama menciptakan keajaiban, menggapai ingin dan mewujudkan angan.

Sebentar lagi, perjalanan panjang menuntun kami menuju hari sakral. Hari dimana kami memulai kehidupan baru, pernikahan.
Bismillahirrahmanirrahim.


Bersambung...

0 Comments