Self Healing ke Gunung Merbabu


PENAT.

Sebuah kata yang mengantarkanku pada keputusan untuk kembali mendaki. Terakumulasi sudah rasa lelah ini. Layaknya masa mudaku, pelarian sementara dari berisiknya dunia adalah gunung. Masa bodoh dengan bisikan orang yang mengaitkan dengan status mama anak dua. “Kesehatan mental yang utama”, begitulah alasan yang mendasari mas suami memberikan izin.

 

Berbekal info dari teman mendaki dulu, aku ikut open trip @tigadewaadventureindonesia yang katanya sudah terpercaya. Benar saja, aku cek instagramnya, sudah difollow bung Fiersa Besari. Segeralah ku daftar ke Gunung Merbabu via Selo setelah ada info 1/3 dari total peserta adalah perempuan. Syarat dari mas suami terpenuhi sudah.

 

Mobil elf putih bertengger di depan meeting point RS UKI Cawang. Jam sudah menunjukan pukul 20.50. Jumat malam itu tanggal 9 Desember 2022, aku bersiap melaju bersama peserta trip. Menempuh perjalanan sekitar 12 jam termasuk istirahat di beberapa rest area, sampailah aku di Basecamp Andri Kempleng. Basecamp yang lengkap dengan fasilitas kamar mandi, area istirahat yang cukup luas, beragam menu makanan seperti soto, nasi rames, nasi goreng, dan tentunya ada wifi berbayar disini.

 

Briefing sebelum memulai pendakian

Pukul 10.30 seluruh peserta sudah siap berkumpul dengan menggendong carrier. Sungguh pagi yang indah. Hawa khas pegunungan yang sejuk mengelus lembut kulitku. Cuaca pagi ini terpantau cerah, sesuai prakiraan cuaca BMKG yang sudah ku cek sebelumnya. 


Briefing dimulai oleh tim Tiga Dewa yang memberikan beberapa arahan, seperti tidak boleh membawa tissue basah, music box, dan drone. Bagi wanita yang sedang haid juga pantang memegang batu yang disakralkan di beberapa titik. Seluruh sampah harus dibawa turun kembali, lisan maupun perbuatan juga harus dijaga. Kemudian tim Tiga Dewa menutup dengan doa dengan harapan perjalanan lancar, cuaca cerah, dan kami semua mencapai tujuan terpenting, kembali dengan selamat.

 

Lita - Aku - Juju - Meli - Siti

Tak jauh dari basecamp, berdiri gapura bertuliskan Jalur Pendakian Selo Taman Nasional Gunung Merbabu yang tentu menjadi spot wajib untuk berfoto menandakan awal mulai pendakian. Menuju pos 1, jalur masih terhitung landai. Meskipun begitu tetap saja aku yang sudah jarang olahraga, dan faktur U, mulai ngos-ngosan. Jam 12.10 aku sampai di Pos 1 “Dok Malang”.

 

Track menuju Pos 1

Pos 1 "Dok Malang"


Pada pendakian kali ini, aku dipertemukan dengan 4 teman pendaki wanita, Juju, Siti, Mila dan Lita. Siti dengan fisik kuatnya berada di depan, dan aku bersama 3 teman lainnya yang menamakan geng Pendaki Keong berada di belakang ditemani sang sweaper, Botuna.

 

Di perjalanan, tim Tiga Dewa berbagi informasi melalui HT. Ternyata di Pos 1 ada salah satu peserta yang kesurupan. Di tangannya ada 4 cakaran yang katanya ulah siluman. Kemudian mbah penunggu di sana merasuki. Katanya si anak tersebut adalah keturunan keraton Yogyakarta. Jadi karena beda wilayah kerajaan, penunggu disana tak suka akan kehadirannya. Kata mbah itu juga, si anak harus segera turun dan mengurungkan niat mendaki ke Merbabu karena penunggu di atas sana bisa lebih berbahaya. Yaa, percaya tidak percaya, begitulah kondisinya yang sempat direkam oleh tim Tiga Dewa.

 

Pos 2 "Pandean"

Jam 13.50 kami sampai di Pos 2 “Pandean”. Segera ku turunkan carrier, kemudian bergegas membuka nasi bungkus dengan menu tempe orek, telor dadar, dan sayur tahu. Rasanya mantap djiwaa. Bukan karena lapar, bukan. Ku akui memang masakan yang disajikan tim Tiga Dewa, enaaak!!!

 

Wujud Pal HM yang kita temui per 100 meter

Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Pal HM demi Pal HM dilalui. Pal HM yang merupakan penunjuk arah per 100 meter sangat membantu selama pendakian. Jam 15.45 sampailah aku di Pos 3 “Batu Tulis”. Kabut mulai menyelimuti. Namun tak menghalangi kita untuk asyik berfoto ria. 


Pos 3 "Batu Tulis"

Langkah demi langkah terasa lebih berat. Kaki dan punggung mulai pegal. Ingin segera ku rebahkan badan ini di tenda yang sudah disiapkan di Pos 4 “Sabana 1”. 


Semangaaat!! Ya.. walaupun berulang kali kata-kata ini keluar, “Ngapain sih cape-cape naik gunung, apa yang dicari, enakan juga gegoleran di rumah.” Entahlah. Bagiku mendaki seperti melawan garis batas. Batas yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Puncak, menjadi tujuan sementara yang harus dilalui melalui proses yang enggak mudah. Bayangkan saja berjalan jauh di jalur rata saja sudah melelahkan. Ini, sudah posisi menanjak, bawa beban di carrier, berpacu dengan waktu pula. Namun faktanya, proses tersebut bisa dilalui dan terbayar dengan keindahan alam yang begitu sempurna. 




View menuju Sabana 1

Perjalanan alon-alon asal klakon berakhir. Sampailah kami di Pos 4 “Sabana 1” jam 17.30. Hawa dingin menerpa. Aku tak kuat berlama-lama berada di luar tenda. Sekitar satu jam setelahnya, tim Tiga Dewa sudah menyiapkan teh hangat dan semangkuk sup panas. Cocok sekali menemani dinginnya Sabana 1.

 


Menu makan malam

Tak jarak lama, aku meringkuk di dalam sleeping bag dengan tambahan emergency blanket yang dipinjami Siti. Aku terlelap walaupun tenda sebelah sedang asyik bermain Uno. Teman yang lain pun tertidur dengan paket suara dengkuran hehe. Sekitar jam 22.00 aku terbangun karena dingin. Teman yang lain ternyata juga sama. Kami lanjut mengobrol curhat segala macam cerita dengan dalih biar nggak terasa dingin.

 

“Ya Allah semoga besok cuaca cerah. Doa anak yatim kan biasanya dikabulin,” kata Mila.

“Wah, sama dong. Semoga besok cerah,” sambung Juju. 

“Aku tambahin deh, sama aku juga anak yatim, semoga besok cerah ya Allah,” kataku. 


Kami berlima sama-sama tertawa. Benar-benar dark jokes. Kemudian chit-chat time berganti topik perihal pasangan, dan hal random lainnya. Menurutku salah satu keberhasilan pendakian adalah bisa mendekatkan orang yang sebelumnya tidak kenal sama sekali. Dan obrolan kami harus terhenti karena tanpa sadar tenda lain sudah tak bersuara, disusul peserta lain yang complain terganggu suara cempreng kami. Mas guide Tiga Dewa juga mengejek suara kami kayaknya terdengar sampai satu sabana. Hahaha monmap guys. Tak jarak lama, kami pun rehat kembali.


Sekitar jam 03.00 peserta sudah siap berkumpul untuk summit attack. Headlamp sudah siap di kepala, trekking pole di tangan. Perjalanan seharusnya lebih mudah karena tak perlu membawa beban carrier. Hanya tas kecil berisi cemilan.

  

Kerlap-kerlip lampu kota

Sekitar jam 05.00, spot yang dinanti akhirnya berhasil kami pijak, Puncak Kentengsongo di ketinggian 3.122 mdpl dan puncak Triangulasi di ketinggian 3.142 mdpl. Alhamdulillah doa tiga anak yatim ini terkabul hehe. Cuaca benar-benar cerah. Terlihat gagahnya gunung Merapi, barisan gunung Sumbing - Sindoro - Prau, gunung Andong dan Telomoyo. 


Puncak Kentengsongo dan Puncak Triangulasi



Lukisan Gunung Merapi - Sumbing - Sindoro - Prau

 

Ku luangkan waktu di puncak untuk merenung. Benar-benar aku ingin menangis. Dengan kondisi yang sudah tak single lagi, aku tak menyangka bisa berada di ketinggian ini. Aku bersyukur memiliki partner hidup yang selalu berusaha menjadi suami terbaik, suami yang pengertian. Aku bahagia diberikan kunci bernama “kepercayaan”.

 

Empat tahun sudah aku tidak mendaki. Selama itu aku melalui banyak hal dalam waktu singkat. Hei, aku tak sekuat yang kalian pikir! Ada kalanya aku benar-benar lelah. Aku hanya seorang manusia biasa yang butuh kewarasan, butuh me time. So please aku tak perlu cibiran sebagai ibu yang egois. Aku hanya rindu 'aku'. Dan keputusan untuk mendaki mungkin menjadi obat mujarab saat ini.

 

Leave nothing but footprints. Salah satu kode etik para pecinta alam. Namun bolehkah kali ini bukan hanya jejak kaki yang ku tinggalkan? Merbabu, izinkan aku mengubur rasa itu disini. Terima kasih telah menyuguhkan pemandangan yang luar biasa cantiknya. Terima kasih telah menciptakan energi positif baru untuk bekal aku pulang. 


View selama turun dari puncak

Pendaki Keong :) 




     





0 Comments