Segerombolan
anak-anak tertawa riang saat melesatkan bola ke dalam ring basket. Segerombolan
lain sedang asyik makan sambil ngerumpi di
kantin Mang Udin. Ada pula yang sedang berlatih teater di taman dan di tepinya,
beberapa anak duduk-duduk manis sambil memegang gadgetnya.
Aku
hanya berdiri sendiri memandangi kerumunan anak-anak dari lantai dua. Tak
sampai 1 tahun lagi aku akan meninggalkan sekolah ini. Tidak. Bukan itu
sebenarnya yang mengganggu pikiranku. Ujian nasional semakin dekat dan seluruh
siswa diwajibkan menyelesaikan administrasi secepatnya. Dalam kondisi ini aku
menghadapi dua ujian besar. Ujian Nasional dan 'Ujian Kehidupan'. Teringat setahun
lalu, ayah pulang membawa kabar buruk.
“Bu,
maafkan ayah. Sekarang, kondisi perusahaan lagi jatuh. Untuk menekan cost,
mau enggak mau perusahaan melakukan pengurangan karyawan. Dan ayah salah satunya. Ayah enggak
tau bu harus gimana. Maafkan ayah”, kata ayah tertunduk lemas dan tak sanggup
menatap wajah ibu.
Mendengar
itu ibu terdiam sejenak. Mencoba mencerna kembali kata-kata ayah. Shock. Mungkin itu yang ibu rasakan.
Membayangkan saja sulit. Jatuhnya kondisi perekonomian perusahaan tempat ayah bekerja apakah akan
barbanding lurus dengan kondisi perekonomian keluargaku. Ayah yang sudah tidak
dalam usia produktif juga sepertinya sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru
lagi.
Kabar
buruk tersebut ternyata sangat berdampak pada keberlangsungan hidup keluargaku
sampai detik ini. Ayah yang notabene tidak ada bakat bisnis mencoba untuk membuka usaha dari hasil pesangon. Usaha
tersebut malah semakin memperburuk keadaan dan akhirnya setelah 3 bulan
mengalami rugi bersih yang cukup tinggi, usaha kuliner ayah gulung tikar.
Orang
tuaku pun tak kunjung menyelesaikan tunggakan
pembayaran sekolah. Sisa dana yang dimiliki ayah dipergunakan untuk menyambung
hidup keluarga dan melunasi cicilan ini dan itu. Aku
juga tak tega kalau terus-menerus merengek meminta untuk dilunasi seluruh
kewajiban sekolah. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa dan berprestasi
setinggi-tingginya.
“Sabar,
nduk ! Kita sedang diuji oleh Gusti
Allah. Itu tandanya Allah masih sayang sama kita. Allah yakin kalau kita bisa
melewati ujian ini. Ingat, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas
kemampuan hambaNya”.
Ibu
yang hari ini tepat berusia 38 tahun menjadi begitu tangguh di hadapan
anak-anaknya. Padahal sesekali ibu kepergok
menitikkan air mata yang tak mau ditunjukkan kepada siapapun. Bu. Selamat ulang tahun. Ini
hadiah special dari Aya. Andai
aku sudah bekerja, pasti kalimat itu akan kulontarkan seraya memberikan hadiah
spesial untuk wonder womanku.
Bel
berbunyi, membuyarkan lamunanku yang berkeliaran. Murid-murid segera
meninggalkan aktivitasnya menuju ruang kelas masing-masing. Begitupun aku.
“Hei, nanti pulang sekolah nongkrong di Yummy Cafe yuk !!”, kata
Rasty membuka obrolan di tengah pelajaran.
“Bosen gue. Mending kita nonton
Kingsman. Hari ini tayang perdana loh”, timpal Mona.
“Ok
deh. Soraya lu ikut yuk. Tenang gue yang traktir”, kata Rasty.
Rasty,
Mona, dan anak-anak di kelas sudah tahu keadaanku sekarang. Bagaima tidak.
Saat pengambilan raport, hanya raportku yang ditahan karena masih ada tunggakan
SPP. Pandangan seluruh wali murid tertuju pada ibuku yang sedang duduk di depan
dengan wali kelas. Tapi itu tak berlangsung lama, karena pandangan orang tua
wali murid kembali tertuju ke papan tulis seraya tersenyum.
Juara 1 : Soraya
Octavia
Juara 2 : Liliana
Mahadewi
Juara 3 : Rizky
Maulana
“Sorry
ya gue enggak ikut. Ujian kan bentar lagi. Gue mau fokus”, kataku menolak halus.
Bukan apa-apa, aku tidak suka mendapat belas kasihan orang lain.
Ibu
pernah berkata, "Nduk, kita memang orang
ga punya. Tapi jangan pernah
memanfaatkan keadaan kita untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Hiduplah
sederhana. Klasifikasikan yang mana kebutuhan, yang mana keinginan semata. Ibu
yakin kelak kamu akan menjadi orang yang sukses dan bijak nduk” Prinsip itu aku pegang terus sampai sekarang.
“Soraya,
sini kamu maju ke depan”, panggil Ibu Medina mengejutkanku. Ah, karena ikut ngobrol dengan Rasty dan Mona di jam
pelajaran pasti aku akan kena teguran.
Ibu
Medina memberikan secarik kertas. Aku membaca kata demi kata.
Semakin aku membaca, semakin aku ingin menangis. Terbayang sosok Ibu yang
memaksakan untuk selalu tersenyum di balik dukanya.
Pukul
14.00 aku sudah sampai di rumah. Buru-buru aku mencari ibu. Ternyata ibu sedang
menumpuk hasil sulaman kerudung yang dikerjakan semalaman. Harganya pun tak
seberapa kalau dibanding tenaga dan waktunya. Jasa ibu untuk menyulam satu
kerudung dihargai Rp 3.000, dan semalam suntuk ibu berhasil menyulam 5 pcs.
Total ibu mendapatkan upah Rp 15.000. Sangat
tak sebanding.
Tangisanku
pecah saat melihat ibu. Secarik kertas yang Bu Medina berikan masih kugenggam
erat.
“Bu.
Selamat ulang tahun. Ini hadiah special dari Aya”, kataku seraya
menyerahkan secarik kertas. Tak harus menunggu bekerja, ternyata aku sudah bisa
melakukan ini. Ibu
langsung ikut larut dalam tangisan. Ia pun menarikku dalam dekapannya.
“Ibu
bangga sama kamu Aya. Ini adalah hadiah terindah yang pernah ibu dapatkan.
Maafkan ibu dan ayah kalau tidak bisa menjadi orang tua yang baik”
Aku
dan ibu memandangi lagi secarik kertas berjuta syukur itu.
Kepada
Soraya Octavia,
Sehubungan dengan kepesertaan saudari
dalam lomba matematika se-Jawa Barat yang diselenggarakan pada 20 April 2015 di
SMA Budi Utama, bersama ini kami Pemerintah Kota Depok memberikan beasiswa sebesar Rp 5.000.000 yang akan dialokasikan untuk biaya pendidikan.
Diharapkan dengan adanya beasiswa ini dapat memberikan motivasi putra-putri bangsa khususnya
putra-putri Depok untuk terus berprestasi.
Pemerintah
Kota Depok
2 Comments
speechless ..
ReplyDeleteCeritanya bagus,, baru mulai terlarut dalam aliran ceritanya yang dalam, namun sayang terlalu cepat berakhir. Anyway bagus..
ReplyDelete