Dan Akhirnya, Menikah!





“Dek, mas dapet kabar kemungkinan Diktuk Polhut (Pendidikan dan Pembentukan Polisi Hutan) mulai di bulan Maret-April. Pilihannya ada 2, kita nikah sebelum Maret atau sesudah lebaran.”

Sebuah kabar yang ku sambut dengan perasaan kaget campur aduk. Aku enggan menunda pernikahan terlalu lama, aku pun ragu bisa mempersiapkan pernikahan dalam waktu singkat. Karena menyegerakan pernikahan adalah hal baik, akhirnya kami memilih opsi pertama, tepatnya 17 Februari 2019. Ya, tanggal 17 sesuai angka favoritku.

Benar saja kata orang, ujian menjelang pernikahan selalu saja ada. Dalam kesibukan mempersiapkan pernikahan, aku mendapat kabar lulus seleksi CPNS tahap pertama dan harus melewati rangkaian proses yang amat panjang nan melelahkan. Di tengah rasa syukur tersebut, aku harus mengerahkan waktu dan tenaga ekstra untuk mengurus 2 hal penting dalam perjalananku.

“Kalau aku tidak lolos CPNS, aku akan ikut ke Palembang. Kalau aku lolos? Aku akan tetap di Jabotabek dan kita sementara menjalani LDM (Long Distance Marriage).”
Begitulah perjanjian antara mas, aku dan keluarga kita. Akhirnya, kuasa Allah dan kekuatan doa ibu berujung pada 1 keputusan, aku lolos CPNS dan kami diharuskan berkawan dengan ‘jarak’.


“Kemungkinan kamu mulai kerja itu Maret atau April, Dek. Mas aja mulai TMT 3 bulan setelah pengumuman. Nah setelah nikah dan selagi nunggu TMT, kamu ikut aja ke Palembang dulu."

Lagi dan lagi. Takdirku meleset dari prediksi. Aku sudah mulai orientasi kerja 1 Februari yang artinya sekitar 2 minggu sebelum tanggal pernikahan. Aku terdiam. Entah aku harus senang atau sedih. Terbayang aku gagal menemani mas satu-dua bulan di Palembang, aku yang kemungkinan besar belum bisa cuti nikah, dan aku yang harus kembali membagi pikiranku antara pekerjaan dan pernikahan.

“Bukan ujian tetapi inilah rezeki, hadiah pernikahan yang harus disambut dengan usaha yang lebih keras.”
Sebagian jiwaku turut menyemangati.

"Aku kuat!"
Ucapan dan kondisi fisik ternyata tidak berjalan beriringan. Aku tumbang. H-7 aku jatuh sakit karena kelelahan. Alhasil selama 2 hari aku hanya berbaring, mengistirahatkan mesin yang telah ku paksa untuk bekerja optimal.

Untung saja, mas segera datang dan merampungkan urusan yang belum selesai. Begitulah memang, pasangan merupakan sebuah tim solid yang saling melengkapi, saling menyempurnakan.

Sebelum mas, ada ibuku yang menjadi ibu super tangguh yang tak lelah menemani hilir mudik kesana kemari, mengurus beragam persiapan. Dan alhamdulillah, ada pula keluarga mas yang tak hentinya memberi dukungan moril.

Akhirnya segala urusan yang menguras tenaga, selesaaaai!!!

Pagi yang indah di tanggal 17 Februari 2019. Sinar mentari menyusup ke berbagai sudut, mencoba menghangatkan sebuah acara sakral, pernikahanku dengan mas Bonnex. Dalam suasana khidmat, duduk di hadapan kami, Abi, adik laki-laki yang menjadi wali nikahku. Beberapa kali aku harus menarik napas panjang agar tetap tegar. Dalam bayangku, almarhum bapak datang, berjalan perlahan mendekati meja akad, kemudian ikut duduk di antara kami dan tersenyum atas kebahagiaan anak perempuan pertamanya. "Terima kasih atas segalanya, Pak!"

Alhamdulillah. Sebuah janji suci akhirnya mengantarkanku dan Mas Bonnex menjadi sepasang suami istri yang sah di mata agama dan hukum. Pagi itu ialah pagi pertama kami memulai ibadah terlama, ibadah berumah tangga. Ku cium tangan suamiku, diciumlah keningku.

“Kamu akan menjadi pakaianku, dan aku menjadi pakaianmu.”

Makna yang dalam bahwa kelak kami harus saling menjaga aurat dan aib pasangan, menjadi harta berharga pasangan, dan menjadi pelindung dari segala perbuatan tidak baik. Semoga Allah selalu mengijinkan kita untuk menciptakan ruang hangat untuk menetap, bukan hanya sesaat tapi hingga akhir hayat.

Doa tulus ikhlas yang diberikan oleh seluruh sanak saudara dan kerabat semoga turut mengantarkan kami menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Aamiin aamiin aamiin ya robbal 'alamiin.

Kapal kami sudah siap melaju untuk mencapai tujuan suci pernikahan. Kelak ombak yang menghadang akan selalu ada, bukan dengan meninggalkan tetapi kami harus tetap berpegangan tangan. Disadari dari awal, ombak pertama kami adalah perihal ‘jarak’. Seminggu pasca menikah, mas sudah kembali ke tanah Sumatra yang disambut penantian untuk bertemu lagi di bulan berikutnya.

Sejauh apapun jarak Palembang-Tangerang
Ada hati yang saling menguatkan
Ada aku dan kamu yang tak lelah berjuang
Demi satu, masa depan

Sebulan sudah kita melakukan perjalanan bersama sebagai sepasang suami-istri. Walaupun sesekali kami harus berselimut kerinduan, nyatanya jarak tak menjadi penghalang untuk kami bertukar cerita, berbagi tawa, dan menjadi sumber bahagia. Akan ada dua dimensi yang terhubung oleh sebuah takdir Tuhan.

Ketika sepasang belum bisa seatap 
Ada sebagian jiwa yang sunyi senyap
Namun...
Sejatinya manusia diciptakan untuk bersyukur
Bukan mengatur sebuah alur

Mengeluh dan mengaduh jelas bukanlah solusi apalagi memaksakan jalan yang sudah ditakdirkan. Kembali lagi, rasa syukur menjadi obat penenang hati. Apapun skenario yang sudah digariskan, semoga Allah selalu memberikan kekuatan, melimpahkan keberkahan hingga kami menggapai surgaNya.

0 Comments